Sore itu adalah satu
hari sebelum hari lebaran. Saya hendak kembali ke Kota Solo setelah seharian
menghabisakan waktu bersama dengan teman-teman mengelilingi Kota Jogja,
Magelang, dan Ambarawa. Seperti biasa, saya pulang dengan kereta api Prambanan
Ekspress (Prameks) dan menaikinya melalui Stasiun Lempuyangan. Saat itu sekitar
pukul 20.00 kereta datang dan saya beranjak ke peron, saya memilih menunggu di
peron tengah sehingga pas di gerbong kereta tengah pula. Puji Tuhan, malam itu
tidak terlalu ramai dengan orang yang hendak ke Solo. Saat pintu terbuka, saya
bisa memilih tempat duduk dengan leluasa. Akhirnya, saya memilih duduk di
bangku dekat gerbong yang menghadap ke timur. Saya duduk di sebelah seorang
ibu. Ibu tersebut tidak terlalu tua, tetapi juga tidak terlalu muda, mungkin di
usia 30an tahun pikir saya. Saat setelah saya duduk, saya sempatkan untuk
menatap ibu itu dan tersenyum kepadanya. Beliau membalas senyum saya dengan
begitu ramahnya dan kemudian bertanya, “Mbak kuliah di Jogja?”. Saya kemudian menjawab
dan bertanya balik kepada beliau, “Iya Bu, Ibu tinggal di Solo atau di Jogja?”.
Lalu, Ibu itu berkata bahwa beliau tinggal di Karanganyar, tetapi beliau
bekerja di Jogja, tepatnya beliau bekerja di Sindu Kusuma Edu Park. Beliau juga
berkata bahwa malam itu ia ingin pulang ke rumah dan menengok ibunya yang
sedang sakit. Padahal, seharusnya beliau tidak diijinkan untuk libur dari
tempatnya bekerja mengingat saat ini adalah masa liburan dan pasti tempatnya
bekerja akan ramai dengan orang berlibur. “Yo piye ya Mbak, jarene nek sesuk
ora mlebu ki kena SP 2, tapi yo lebaran pengen ketemu keluarga, opo meneh ibuku
ki loro tho Mbak.” (Ya gimana ya Mbak, katanya kalau besok tidak masuk akan
kena SP 2, tapi ya lebaran ingin bertemu keluarga, apa lagi ibu saya sedang
sakit Mbak). Saya hanya mendengarkan cerita beliau dan sesekali menjawab dengan
senyuman dan beberapa kata, bukan karena saya tidak mau menjawab, tetapi saat
itu dalam otak saya sedang meresapi setiap hal-hal yang diceritakan olehnya.
Sepanjang perjalanan, selama satu jam, beliau bercerita tentang banyak hal,
tentang keluarganya, tentang pekerjaannya, tentang hal-hal yang mungkin bagi
orang awam tu adalah sesuatu yang tabu untuk diceritakan, mengingat kami juga
baru pertama kali bertemu. Saya tidak habis pikir mengapa ibu tersebut sangat
mempercayai saya untuk mendengarkan semua ceritanya, dan saya bersyukur untuk
itu.
Dari pertemuan dengan
ibu tersebut, ada beberapa hal yang dapat saya peroleh. Sebenarnya, saya
memperoleh banyak sekali nilai hidup di dalamnya, tetapi saya akan membagikan
dua hal dalam tulisan ini.
Pertama, saya begitu
terkagum akan rasa cinta beliau terhadap keluarganya. Bahkan, beliau sampai
rela untuk mendapat Surat Peringatan 2 dari tempatnya bekerja demi dapat
bertemu dengan keluarganya di hari Lebaran ini. Beliau juga berkata seperti
itu, “Nek dipecat soko pekerjaan kan isoh golek pekerjaan liyo tho Mbak, lha
piye nek seumpama ibuku wes ora ono kan ora ono gantine meneh” (Kalau dipecat
dari pekerjaan kan bisa mencari pekerjaan lain Mbak, lha bagaimana jika
seumpama ibu saya sudah tidak ada kan tidak ada gantinya). Mengejar ambisi dan
kesuksesan memang perlu, tetapi dibalik semuanya itu ada sebuah keluarga yang
selalu menantikan kedatangan kita untuk berkumpul bersama. Keluarga dimana kita
berasal, dan keluarga yang tidak pernah lelah untuk selalu mendoakan kita.
Kedua, sebenarnya ini
adalah hal yang saya peroleh dari arti mendengarkan. Jujur, pada awalnya saya
berencana untuk tidur di dalam kereta selama perjalanan karena hari itu memang
saya merasa sangat lelah sekali. Tetapi, ketika saya mulai tersenyum kepada ibu
tersebut, keinginan awal itu akhinya tergantikan untuk tetap mau mendengarkan
cerita beliau hingga kereta berhenti di Stasiun Purwosari. Dari hal tersebut
yang saya peroleh adalah “Just turn off your phone, talk to someone beside you,
and you will find a friend”. Sering kali saya lihat (bahkan saya sendiri),
orang-orang lebih memilih untuk tidur di kereta atau bermain gadget miliknya
sehingga tidak mengetahui siapa orang yang ada di sebelahnya. Dengan kata lain,
kita lebih memikirkan diri sendiri. Padahal, ketika kita berani untuk tidak
fokus pada gadget atau diri sendiri, kita mungkin akan bertemu dengan
orang-orang yang sebenarnya “ingin membagikan bebannya” sehingga tidak
dipikulnya sendiri. Setidaknya, menjadi seorang pendengar itu sudah cukup untuk
orang-orang yang memang sangat perlu untuk didengarkan.
Terimakasih Ibu, karena
sudah mengajari saya makna dari keluarga dan mendengarkan selama satu jam
perjalanan duduk disebelah Anda. Semoga Tuhan selalu menyertai dan membimbing
langkah Anda dimanapun dan kapanpun.
Tuhan Yesus memberkati
selalu J
Komentar
Posting Komentar